PLUK! PLUK!
Penghapus-penghapus warna-warni yang sudah dipotong ber-"terbangan" di langit langit kelas kami. Ini kebiasaan kami saat sekolah selesai dikelas. Kali ini sasaranku Rima. Rima adalah anak yang paling susah di kelas 6A ini.
PLUK! PLUK!
Rima mengambil potongan penghapus itu sambil menangis. Memang, yang kugunakan itu penghapusnya. Rima juga tahu.
"Cengeng amat sih! Penghapus gituan, kan murah! Paling 500 perak dapet!" kataku meneriakinya. Disusul gelak tawa lainnya.
Rima memasukkan potongan kecil itu ke kotak pensil lusuhnya, lalu berlari keluar kelas.
"Aih, cengeng amat, ya Tara!" seru Diva padaku. Kami tertawa lagi.
Esoknya, ada ulangan mendadak. Tadi pagi, aku terburu-buru karena hampir telat.
Saat Bu Feni masuk, aku mencari-cari kotak pensil boneka anak kecil membawa tas-ku di tas. Tapi, tidak ada sama sekali.
"Bu, aku ngga bawa pensil..." kataku.
"Anak-anak, siapa yang mau meminjamkan alat tulis ke Tara?" tanya Bu Feni. Semua anak hanya membawa satu pensil dan penghapus.
"Saya bu!" seru Rima tiba-tiba.
Rima meminjamkan pensil yang berlapis bambu dan potongan penghapus miliknya. Itu kan, penghapus dan pensil yang kulempar-lempar ke selokan kemarin!
Aku malu melihat kesederhanaan Rima. Kalau aku, beli sebentar, langsung kubuang.
Esoknya, aku minta maaf dengan Rima. Aku akan meniru Rima dari sekarang!